VIDIO PILIHAN

Cari Blog Ini

TV @ FARDHU TV online- Saudi Quran tv channel live online

CLIK TONTON TV ISLAM

Rabu, 3 November 2010

Islam Dan Mistik Jawa


Islam Dan Mistik Jawa
karya: Ronggowarsito

Alkisah, seorang dewa Hindu, Wisnu didorong oleh keinginannya yang besar untuk mencari titik temu antara ajaran Hindu dan Islam, rela menempuh perjalanan jauh, dengan mengarungi lautan dan daratan, untuk datang ke negeri Rum (Turki), salah satu pusat negeri Islam, yang kala itu dalam penguasaah Daulah Usmaniyah. Untuk mencapai maksud itu, Wisnu mengubah namanya menjadi Seh Suman. Dia pun menganut dua agama sekaligus, lahir tetap dewa Hindu namun batinnya telah menganut Islam.

Dan demikianlah, setelah menempuh perjalanan yang demikian jauh dan melelahkan, sampailah Seh Suman di Negeri Rum. Kebetulan pada masa itu Seh Suman bisa menghadiri musyawarah para wali itu bertujuan untuk mencocokkan wejangan enam mursid (guru sufi):

1) Seh Sumah,
2) She Ngusman Najid,
3) Seh Suman sendiri,
4) Seh Bukti Jalal,

5) Seh Brahmana dan

6) Seh Takru Alam.

Demikianlah ikhtisah Suluk Saloka Jiwa karya pujangga Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Raden Ngabei Ranggawarsita, sebagaimana dirangkumkan oleh pakar masalah kejawen dari IAIN Sunan Klaijaga Yogyakarta, Dr. Simuh (1991:76). Menurut Simuh, kitab ini nampaknya diilhami oleh tradisi permusyawaratan para wali atau ahli sufi untuk membehas ilmu kasampuranan atau makrifat yang banyak berkembang di dunia tarekat.

Dunia Penciptaan

Sumber lain menyebut kitab ini sebagai Suluk Jiwa begita saja. Misalnya, dalam disertai Dr. Alwi Shihab di Universitas ‘Ain Syams, Mesir, Al Tashawwuf Al-Indunisi Al-Ma’asir yang kemudian diindonesiakan oleh Dr. Muhammad Nursamad menjadi Islam Sufistik : “Islam Pertama” dan pengaruhnya hingga kini di Indonesia (Mizan, 2001).

Bahkan bukan saja penyebutan judulnya yang berbeda, namun nama tokoh-tokohnya ditulis menurut ejaan Arab. Sehingga, Seh Suman oleh Alwi Shihab ditulisnya sebagai Sulaiman. Seh Ngusman Najib ditulis Syaikh Ustman Al-Naji. Meskipun begitu alur cerita yang digambarkan oleh Alwi Shihab tidak berbeda dengan yang dipaparkan oleh Dr. Simuh.

Dari perbedaan penyebutan itu timbul beberapa spekulasi. Spekulasi pertama barangkali memang penyebutan Alwi Shihab kurang lengkap mengingat Alwi tampaknya tidak mengambil dari sumber langsung atau mungkin kekeliruan dalam penerjemahan. Namun, spekulasi yang lain bisa saja antara Seluk Saloka Jiwa dan Suluk Jiwa memang kitab yang berbeda atau turunan yang lain.

Hal ini bisa saja terjadi karena kitab Jawa, yang penurunannya belum memakai metode cetak tapi tulisan tangan, suatu kitab sejenis antara turunan yang satu dengan turunan yang lainnya bisa mengalami perubahan karena ditulis dalam waktu dan kesempatan yang berbeda, bahkan bisa oleh penulis yang berbeda pula.

Namun, yang pokok, antara apa yang diungkapan oleh Dr. Simuh dengan Dr. Alwi Shihab tidak ada perbedaan yang berarti. Keduanya menyebut bahwa karya Ranggawarsita yang satu ini memiliki pertalian yang erat dengan upaya mensinkronkan ajaran Islam dan Jawa (Hinduisme). Bahkan, Dr. Alwi Shihab menyebut sosok Ranggawarsita sebagai Bapak Kebatinan Jawa atau
Kejawen. Menurut Menteri Luar Negeri RI pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, penjulukannya ini didasarkan pada kenyataan bahwa karya-karya Ranggawarsita menjadi rujukan utama untuk kebatinan Jawa.


Serat Soluk Saloka Jiwa ini berbicara soal dunia penciptaan, yaitu dari masa manusia berasal dan ke mana bakal kembali (sanggkan paraning dumadi). Ini terlihat dari hasil perbincangan enam sufi di Negeri Rum yang juga dihadiri oleh Seh Suman alias Dewa Wisnu tersebut. Dari sinilah, Seh Suman berkesimpulan bahwa sesungguhnya antara ajaran Islam dan Jawa memiliki paralelisme.

Menurut Ranggawarsita, sebagaimana digambarkan dari hasil percakapan enam sufi, Allah SWT itu ada sebelum segala sesuatu ada. Yang mula-mula diciptakan oleh Allah adalah

  • al-nur yang kemudian terpancar darinya 4 unsur : tanah, api,udara, dan air.
  • Kemudian diciptakanlah jasad yang terdiri dari 4 unsur: darah,daging, tulang dan tulang rusuk.
Api melahirkan 4 jenis jiwa/nafsu : aluamah (dlm ejaan Arab lawwmah)
yang memancarkan

1) warna hitam;
2) amarah (ammarah) memancarkan warna merah;
3) supiah (shufiyyah) berwarna kuning dan
4) mutmainah (muthma’inah) berwarna putih.

Dari udara lahir nafas, tanaffus, anfas dan nufus.
Paham penciptaan ini jelas kemudian sangat berpengaruh terhadap tradisi kejawen yang memang mengambil dari ajaran Islam yang berpadu dengan kebudayaan lokal. Memang konsep-konsep tentang jiwa (nafs) juga diruntut dalam tradisi Islam sufistik, seperti yang dikembangkan Al-Ghazali.

Namun demikian, konsep tentang nafsu-nafsu itu kemudian berkembang dikalangan kebatinan Jawa secara luas, bahkan juga berpengaruh bagi kalangan penganut kebatinan Jawa nonmuslim.

Demikianlah ikhtisar Suluk Saloka Jiwa sebagaimana dirangkumkan oleh Simuh (1991: 76). Menurut Simuh, kitab ini tampaknya "di-ilhami" oleh tradisi permusyawaratan para wali atau ahli sufi untuk membahas ilmu kasampurnan atau makrifat yang banyak berkembang di dunia tarekat.

Pendapat senada terdapat dalam disertasi Dr Alwi Shihab di Universitas 'Ain Syams, Mesir, Al Tashawwuf Al-Islami wa Atsaruhu fi Al-Tashawwuf Al-Indunisi Al-Ma'asir.

Hanya saja, dalam disertasi Shihab, nama tokoh-tokohnya ditulis menurut ejaan Arab. Seh Suman ditulisnya sebagai Sulaiman, Seh Ngusman Najid ditulis Syaikh Ustman Al-Naji. Meskipun begitu, alur cerita yang digambarkan tidak berbeda. Keduanya juga menyebut bahwa karya Ranggawarsita yang satu ini memiliki pertalian yang erat dengan upaya menyinkronkan ajaran Islam dan Jawa (Hinduisme), inti pokok ajaran kebatinan Jawa.

Serat Suluk Saloka Jiwa ini berbicara soal dunia penciptaan, yaitu dari mana manusia berasal dan ke mana bakal kembali (sangkan paraning dumadi). Ini terlihat dari hasil perbincangan enam sufi di Negeri Rum yang juga dihadiri oleh Seh Suman alias Dewa Wisnu tersebut.

Dari sinilah, Seh Suman berkesimpulan bahwa sesungguhnya antara ajaran Islam dan Jawa memiliki paralelisme.

Menurut Ranggawarsita, sebagaimana digambarkan dari hasil percakapan enam sufi, Allah itu ada sebelum segala sesuatu ada. Yang mula-mula diciptakan oleh Allah adalah al-nur yang kemudian terpancar darinya tanah, api, udara, dan air. Kemudian diciptakanlah jasad yang terdiri dari empat unsur: darah, daging, tulang-tulang, dan tulang rusuk.

Api melahirkan empat jenis jiwa/nafsu: aluamah (dalam ejaan Arab lawwamah) yang memancarkan warna hitam; amarah (ammarah) memancarkan warna merah; supiah (shufiyyah) berwarna kuning dan mutmainah (muthma'inah) yang berwarna putih. Dari udara lahir nafas, tanaffus, anfas dan nufus.

Paham penciptaan ini jelas kemudian sangat berpengaruh terhadap tradisi kebatinan Jawa yang memang mengambil dari ajaran Islam yang berpadu dengan kebudayaan lokal. Memang konsep-konsep tentang jiwa (nafs) juga diruntut dalam tradisi Islam sufistik, seperti yang dikembangkan Al-Ghazali. Dalam kaitan pemilahan an-nafs (nafsu) ini, Al-Ghazali membagi tujuh macam nafsu, yaitu mardhiyah, radhiyah, muthmainah, kamilah, mulhammah, lawwamah, dan ammarah (Rahardjo; 1991: 56).

Namun, yang berkembang dalam kebatinan Jawa bukan tujuh macam nafsu, namun tetap empat nafsu di atas.

Seorang dokter-cendekiawan Jawa dari Semarang, dr Paryana Suryadibrata, pada tahun 1955, pernah menulis karangan "Kesehatan Lahir dan Batin" bersambung lima nomor di Majalah Media Yogyakarta. Ia, misalnya, menyebut 4 (empat) macam tingkatan nafsu manusia:

1. ammarah (egosentros),
2. supiyah (eros),
3. lawwamah (polemos), dan
4. muthmainah (religios).


Konsep tentang empat nafsu itu kemudian berkembang luas di kalangan kebatinan Jawa secara luas, bahkan juga berpengaruh bagi kalangan kebatinan Jawa yang non-muslim. Karena itu, tidak salah jika Alwi Shihab menyebut sosok Ranggawarsita sebagai Bapak Kebatinan Jawa atau Kejawen.

Sinkretisme atau Varian Islam?

  • * Lantas, apa yang bisa diambil bagi generasi masa kini atas keberadaan Suluk Saloka Jiwa?
  • * Benarkah Ranggawarsita, dengan karya suluknya ini, telah membawa bentuk sinkretisme Islam-Jawa?
  • * Lantas, mungkinkah semangat pencarian titik temu antar-nilai suatu agama ini bisa dijadikan desain strategi budaya untuk membangun pola relasi antar-umat beragama di Indonesia dewasa ini?

Pertanyaan-pertanyaan ini agaknya tidak bisa dipandang enteng, mengingat kompleksnya permasalahan. Yang jelas, masing-masing pertanyaan di atas memiliki korelasi dengan konteksnya masing-masing, tinggal bagaimana seorang penafsir mengambil sudut pandang.

Anggapan bahwa ajaran mistik Jawa sebagaimana tercermin dalam Suluk Saloka Jiwa merupakan bentuk sinkretisme antara Islam dan Jawa (Hinduisme) boleh dikata merupakan pendapat yang umum dan dominan.

Apalagi, sejak semula Ranggawarsita sendiri-lewat karyanya itu-seakan telah memberi legitimasi bahwa memang terdapat paralelisme antara Islam dan Hinduisme. Hal ini seperti tercermin dalam kutipan pupuh berikut ini:

Yata wahu/ Seh Suman sareng angrungu/ pandikanira/ sang panditha Ngusman Najid/ langkung suka ngandika jroning wardoyo//Sang Awiku/ nyata pandhita linuhung/ wulange tan siwah/ lan kawruhing jawata di/ pang-gelare pangukute tan pra beda//

Artinya:

Ketika Seh Suman (Wisnu) mendengar ajaran Ngusman Najid, sangat sukacita
dalam hatinya. Sang ulama benar-benar tinggi ilmunya, ajarannya ternyata tidak berbeda dengan ajaran para dewa (Hinduisme). Pembeberan dan keringkasannya tidak berbeda dengan ilmu kehinduan.

Atas pernyataan ini, kalangan pakar banyak yang berpendapat bahwa Ranggawarsita seperti telah menawarkan pemikiran "agama ganda" bagi orang Jawa, yaitu lahir tetap Hindu namun batin menganut Islam, karena antara Hindu dan Islam menurutnya memang terdapat keselarasan teologi. Simuh, misalnya, menyatakan, "Maka, menurut Ranggawarsita, tidak halangan bagi priayi Jawa menganut agama rangkap seperti Dewa Wisnu: Lahir tetap hindu sedangkan batin mengikuti tuntunan Islam" (Simuh;
1991: 77).

Tafsiran demikian ini tidak dilepaskan dari konteks sosio-kultural pada saat itu. Hal tersebut tidak terlepas dari strategi budaya yang diterapkan keraton-keraton Islam di Jawa pasca-Demak, yang mencari keselarasan antara masyarakat pesisiran yang kental dengan ajaran Islam dan masyarakat pedalaman yang masih ketat memegang keyakinan-keyakinan yang bersumber dari Hindu, Buddha, dan kepercayaan-kepercayaan asli,agar tidak ada perpecahan ke agamaan. Upaya-upaya ini telah dilakukan secara sistematis, utamanya sejak dan oleh Sultan Agung, raja ketiga Mataram Islam.

Di antaranya, Sultan Agung mengubah kalender Saka (Hindu) menjadi kalender Jawa, yang merupakan perpaduan antara sistem penanggalan Saka dan sistem penanggalan Islam (Hijriah).

Namun, benarkah bahwa Islam Jawa merupakan bentuk sinkretisme Islam dengan ajaran Hindu, Buddha dan kepercayaan Jawa? Pendapat yang dominan memang demikian, khususnya bagi yang mengikuti teori trikotomi-santri-priayi-abangan-Clifford Geertz sebagaimana tercermin
dalam The Religion of Java yang monumental itu.

Namun, seorang pakar studi Islam lainnya, Mark R Woodward, yang melakukan penelitian lebih baru dibanding Geertz, yaitu pada tahun 1980-an, berkesimpulan lain. Woodward, yang sebelumnya telah melakukan studi tentang Hindu dan Buddha, ternyata tidak menemukan elemen-elemen Hindu dan Buddha dalam sistem ajaran Islam Jawa.

"Tidak ada sistem Taravada, Mahayana, Siva, atau Vaisnava yang saya pelajari yang tampak dikandungnya (Islam Jawa) kecuali sekadar persamaan... sangat sepele," demikian tulis Woodward (1999: 3).

Bagi Wordward, Islam Jawa-yang kemudian disimplikasikan sebagai kejawen-sejatinya bukan sinkretisme antara Islam dan Jawa (Hindu dan Buddha), tetapi tidak lain hanyalah varian Islam, seperti halnya berkembang Islam Arab, Islam India, Islam Syiria, Islam Maroko, dan lain-lainnya. Yang paling mencolok dari Islam Jawa, menurutnya, kecepatan dan kedalamannya mempenetrasi masyarakat Hindu-Buddha yang paling maju atau sophisticated (ibid: 353).

Perubahan itu terjadi dengan begitu cepatnya, sehingga masyarakat Jawa seakan tidak sadar kalau sudah terjadi transformasi sistem teologi.

Dengan demikian, konflik yang muncul dengan adanya Islam Jawa sebenarnya bukanlah konflik antar-agama (Islam versus Hindu dan Buddha), melainkan konflik internal Islam, yakni antara Islam normatif dan Islam kultural, antara syariah dan sufisme.

Dalam kaitan ini, Woodward menulis:
"Perselisihan keagamaan (Islam di Jawa) tidak didasarkan pada penerimaan yang berbeda terhadap Islam oleh orang-orang Jawa dari berbagai posisi sosial, tetapi pada persoalan lama Islam mengenai bagaimana menyeimbangkan dimensi hukum dan dimensi mistik." (ibid: 4-5).

Namun, harus diakui, menyimpulkan apakah Suluk Saloka Jiwa mengajarkan sinkretisme Islam dan Hindu-Buddha atau tidak memang tidak gampang.

Ini membutuhkan penelitian lebih lanjut dan mendalam. Namun, pendapat Woodward bahwa problem keagamaan di Jawa lebih karena faktor konflik Islam normatif dan Islam kultural tersebut juga bukan tanpa alasan, setidak-tidaknya memang konsep nafs (nafsu) seperti yang ditulis
Ranggawarsita itu memang sulit dicarikan rujukannya dari sumber-sumber literatur Hindu, Buddha ataupun kepercayaan asli Jawa, namun akan lebih mudah ditelusur dengan mencari rujukan pada literatur-literatur tasawuf (sufisme) Islam, seperti yang dikembangkan oleh Al-Ghazali, As-Suhrawardi, Hujwiri, Qusyayri, Al-Hallaj dan tokoh-tokoh sufi Islam lainnya.


Kekhawatiran bahwa Islam Jawa kemungkinan akan "menyeleweng" dari Islam standar tidaklah hanya dikhawatirkan oleh kalangan Islam modernis saja, melainkan kelompok-kelompok lain yang mencoba menggali Islam Jawa dan mencoba mencocokkannya dengan sumber-sumber Islam standar. Seorang intelektual NU, Ulil Abshar-Abdalla, ketika mengomentari Serat Centhini (Bentara, Kompas, edisi 4 Agustus 2000), menulis sebagai berikut:

Yang ingin saya tunjukkan dalam tulisan ini adalah bagaimana Islam menjadi elemen pokok yang mendasari seluruh kisah dalam buku ini [Serat Centhini], tetapi telah mengalami "pembacaan" ulang melalui optik pribumi yang sudah tentu berlainan dengan Islam standar. Islam tidak
lagi tampil sebagai "teks besar" yang "membentuk" kembali kebudayaan setempat sesuai dengan kanon ortodoksi yang standar.

Sebaliknya, dalam Serat Centhini, kita melihat justru kejawaan bertindak secara leluasa untuk "membaca kembali" Islam dalam konteks setempat, tanpa ada ancaman kekikukan dan kecemasan karena "menyeleweng" dari kanon resmi. Nada yang begitu menonjol di sana adalah sikap yang wajar dalam melihat hubungan antara Islam dan kejawaan, meskipun yang terakhir ini sedang melakukan suatu tindakan "resistensi". Penolakan tampil dalam nada yang "subtil", dan sama sekali tidak mengesankan adanya "heroisme"....


Ulil-Abshar barangkali ingin mengatakan inilah cara orang Jawa melakukan perlawanan: Menang tanpa ngasorake... Islam tampaknya telah mengalami kemenangan di Jawa, namun sesungguhnya Islam telah "disubversi" sedemikian rupa, dengan menggunakan tangan Islam sendiri, sehingga
sesungguhnya yang tetap tampil sebagai pemenang adalah Jawa.


Dari Mitis ke Epistemologis

Pada akhirnya, dalam kaitannya relasi Islam-Jawa, bila yang digunakan pendekatan adalah pandangan "kita" versus "mereka", dan karena itu "Jawa" dan "Islam" berada dalam posisi oposisional dan tanpa bisa didialogkan, serta mendudukannya secara vis-a-vis, maka sebenarnya tanpa sadar kita pun telah ikut melegitimasi konflik. Kalau itu yang terjadi, dalam konteks pembangunan toleransi antarpihak, kita sebenarnya tidak memberikan resolusi, namun justru antisolusi. Karena itu, dalam konteks ini, resolusi harus dicarikan pendekatan lain. Dan pendekatan yang layak ditawarkan adalah pendekatan transformatif, yaitu tranformatif dari cara
berpikir "mitis" ke pola berpikir "epistemologis.

Transformasi berpikir "mitis" ke "epistemologis" adalah membawa alam pikiran masyarakat dari semula yang "tidak berjarak" dengan alam menuju cara berpikir yang "mengambil jarak" dengan alam. Dengan adanya keberjarakan dengan alam, manusia bisa memberi penilaian yang obyektif terhadap alam semesta. Ini tentu saja berbeda dengan cara berpikir "mitis", manusia berada "dalam penguasaan" alam.





Karena itu, ketika mereka gagal memberi rasionalitas terhadap gejala-gejala alam, seperti gunung meletus, angin topan, banjir bandang, maka yang dianggap terjadi adalah alam sedang murka. Berpikir mitos pada akhirnya yang terjadi. Dengan berpikir epistemologis, mengambil jarak dengan alam, maka manusia bisa memberi gambaran yang rasional tentang alam, dan kemudian mengolahnya, demi kesejahteraan umat manusia. Alam pun berubah menjadi sesuatu yang fungsional, bermanfaat.

MH ZAELANI TAMMAKA Peminat studi sosial dan kebudayaan, salah satu
penggiat Ndalem Padmosusastro Surakarta
@biz

http://www.nabble.com/Suluk-Saloka-Jiwa-----thanks--Wak-Haji.-td18645050.html


Isnin, 25 Oktober 2010

@MANUSIA DAN AGAMA YANG ADA



MANUSIA DAN AGAMA YANG ADA
oleh: DR HAMKA

ALAM terbentang luas dan manusia hidup di dalamnya. Dengan panca­indera dan akal yang ada padanya, manusia dapat mempersaksikan Alam itu dalam segala sifat dan lakunya. Ada kebesaran, keajaiban dan keindahan, dan ada perubahan-perubahan yang tetap. Kehidupan manu­sia itu sendiri tidak dapat diceraikan dengan Alam itu.

Maka yang mina-mina timbul pada manusia itu adalah perasaan bah­wa ada sesuatu yang menguasai Alam ini. Dia yang mengatur dan me­nyusun perjalanannya. Dia yang menjadikan segalanya. Dia Yang Maha Kuasa atas setup sesuatu yang ada.

Kesan Pertama bahwa Ada Yang Maha Kuasa itu meratalah pada se­genap manusia. Kerana kesan inilah yang tumbuh bilamana akalnya su­dah mulai berjalan. Bahwasanya ada sesuatu kekuatan tersembunyi di latar yang nampak ini.

Yang selalu dirasai adanya, tetapi tidak dapat di­tunjukkan tempatnya. Tidaklah pernah terpisah perasaan ini, walaupun bagaimana kepintaran manusia ataupun dia masih berpikir sederhana.

Di zaman akal itu mulai bertumbuh (primitif), khayalnya akan Adanya yang Ada itu diberinya berupa, menjadi perlambang daripada perasaan­nya sendiri.


Macam-macamlah perasaan yang timbul di sekeliling kesan tentang Yang Ada itu. Kadang-kadang timbullah takut kepadanya, dan kadang­ kadang timbul pula rasa terharu melihat keindahan dan kebesaran bekas perlihatannya. Maka diadakanlah pemujaan kepada benda-benda yang seram. Kepada batu, pohon kayu seumpama beringin.

Gunung atau nya­talah kelihatan bagaimana berkembangnya pemujaan kepada yang gaib itu menurut pengaruh keadaan hidup pada masa itu. Semasa kehidupan gua, disembahlah keseraman rimba dan kayu-kayan dan batu.

Kemudi­an itu disembah gunung. Dan setelah hidup berpindah dari gua batu ke tepi sungai, disembahlah air yang mengalir, dipuja pasang naik dan pasang turun.

Dan kadang-kadang disembah juga ikan. Dan di zaman per­buruan dipujalah~ binatang-binatang yang dirasa ada hubungannya de­ngan suku.



Apabila kehidupan itu telah maju, dan telah pindah ke za­man bercucuk tanam, mulailah dirasa pertalian yang sipat di antara la­ngit dan bumi, kerana kesuburan tumbuh-tumbuhan bertali dengan hu­jan dari langit. Maka mulailah mata menengadah ke langit. Di sanalah agaknya terletak rahasia Yang Maha Kuasa itu.

Manakah agaknya Pusat Kekuasaan besar itu? Ada pembahagian siang dan malam. Siang dan malam menyatakan pembahagian hidup.

Dan siang"dan malam adalah timbul kerana perjalanan Matahari. Bila dia terbit, teranglah alam, dan dapatlah kita berusaha. Kalau dia terbenam, gelaplah hari dan timbullah ketakutan lantaran gelap. Sebab itu maka timbullah persangkaan bahwa Matahari pusatnya kekuasaan itu. `Hari' adalah pertukaran di antara siang dan malam. Maka bola-mesh yang beredar itu adalah `Mata'nya. Pergiliran di antara Siang dan Malam itu adalah Dia. Sebab itu maka kiamat Hari itu bererti juga Tuhan. Dan kadang-kadang disebut juga `Kala', yaitu masa dan ketika. Dinamainya Batas Kala.

Di sini sudah mulai agak maju manusia itu berpikir. Dia sudah mulai menggambarkan Kesatuan Yang Ada itu. Inilah pangkal persembahan kepada Matahari.



Kemudian itu terpikir pulalah bagaimana keindahan bulan pumama dan bagaimana pengaruhnya kepada tanam-tanaman dan binatang ter­nak, dan bagaimana pula pengaruhnya kepada pasang naik dan pasang turun. Maka kepercayaan kepada Bulan adalah tingkat yang kedua sete­lah terlebih dahulu mengesankan bahwa Kesatuan adalah pada Mata­hari.

Kemudian itu timbullah kepercayaan dan pernujaan kepada bintang-­bintang. Cahaya bintang nampak di waktu malam, setelah Matahari tidak ada lagi dan setelah bulan lepas dari purnamanya atau belum me­ningkat purnamanya.

Pergantian bulan yang 12 kali dalam setahun telah ditentukan sete­lah dilihat bintang-bintang yang berganti-ganti kelihatan. Apabila genap peredaran bulan tadi 12 giliran, bintang yang kelihatan dahulu jugalah yang kelihatan sekarang.

Pergiliran bintang itu sangat bertali dengan musim. Ada musim hujan, dan ada kumpulan bintang yang kelihatan Ada musim kemarau, yang lain pula bintangnya. Jika melihat dari sudut kebendaannya saja, timbullah ilmu pengetahuan tentang perjalanan fa­lak. Tetapi dari sudut kegaiban kelihatan Maha Kekuasaan. Dan bertam­bahlah kepercayaan bahwasanya pusat kekuasaan itu hanyalah Esa juga.

Manusia hidup berkelompok-kelompok, bersuku-suku. Sudah nyata bahwa mula-mula manusia itu melihat keluar lingkungan dirinya, baik kepada 'bumi yang terharnpar, atau kepada langit yang terbentang luas. Sesudah itu menukiklah penglihatan tadi ke bawah, kepada diri sendiri. Dan kepada masyarakat yang ada sekeliling.

AKU telah ada di dunia ini. Dari mana datangku. Aku datang dari Sebab perhubungan bersetubuh di antara kedua ibubapaku. Maka terasa­lah bagaimana kuatnya tali perhubungan kehidupan manusia kerana adanya alat kelamin laki-laki itu.

Seorang laki-laki merasai bagaimana kegagah-perkasaannya mencari makan dan bersetubuh, kerana alat kela­minnya


Seorang perempuan merasai apa pentingnya hubungan dia se­bagai perempuan dengan kawannya sebagai laki-laki kerana alat setubuh itu. Maka timbul pulalah kesan bahwasanya alat setubuh adalah rahasia" dari kehidupan. Sebab itu dia dipandang sebagai pusaka gaib dan ber­tuah, yang harus dipelihara dan dipuja.

Maka sejak kehidupan yang per­tama itu, kelihatan bahwa alat setubuh itu disaktikan, ditutupi baik-­baik, sehingga telah menjadi naluri turun temurun dalam hidup manu­sia yang beribu tahun, merasa diri durhaka kalau aurat itu terbuka. Akhirnya menjadi rasa malu. Dan ini pula sebabnya maka salah satu perlambang persembahan bagi bangsa-bangsa dan suku yang masih se­derhana itu ialah penggambaran dari alat bersetubuh. Bahkan pada kuil-­kuil Hindu dan Buddhapun masih dilihat puncak yang lekas membawa kesan bahwa itu adalah gambaran dari alat kelamin laki-laki.

Kepercayaan demikian merapatkan hubungan dengan ibubapa, bah­kan menyebabkan ibubapapun menjadi persembahan dan pemujaan. Anak cucu dari bapa yang pertamapun berkembang biak. Narnun hu­bungan dengan Bapa yang pertama tidaklah putus.
Adalah satu soal yang menambah kuatnya kegaiban itu. Yaitu ten­tang adanya MATI.

Kalau urusan rahasia kelahiran telah dapat dipecahkan dengan me­nyembah kepada alat kelamin, bagaimana dengan mati? Apa ertinya mati? Mengapa setelah hidup dengan what wal`afiat, kemudian terhenti saja hidup itu?

Padahal tubuh masih ada? Dan kalau tubuh itu terletak lebih lama, diapun busuk? Maka setelah seorang keluarga mati, meski­pun badannya telah dibuang atau dikuburkan, terasa juga bahwa dia masih ada. Terasa bahwa dia masih ada di keliling kita. Dia rasanya be­lum mati.

Kadang-kadang datanglah dia dalam mimpi. Sebab itu timbul­lah kesan bahwa di samping tubuhnya yang kasar itu ada lagi `halus'­nya. Halus itu sewaktu-waktu datang kembali hendak melihat anak cucunya, melindunginya seketika dia ditimpa bahaya. Atau dia meng­ganggu kalau hatinya tidak senang! Maka timbullah pula pemujaan ke­pada halus orang setelah mati.

Orang-orang yang dituakan yang masih hidup tentu sipat perhubung­an dengan halusnya orang yang telah mati itu. Kerana dia yang lebih berkuasa dan lebih besar dari antara kelompok suku. Maka tumbuhlah kepercayaan bahwa kepala suku bukan saja mengepalai kehidupan se­hari-hari, tetapi menjadi perantaraan juga dengan halusnya orang yang telah mati.

Kesan itu masih nampak pada beberapa Kerajaan-kerajaan Besar di , Timur, yang berasal daripada tumbuhnya kekeluargaan besar. Maharaja adalah Bapa dari seluruh rakyat yang bernaung di hawah panji-panjinya. Dia juga kepala agama dan juga dukun. Maharaja Tiongkok dinamai `Pu­tera Langit'. Dan di Nippon ada kepercayaan bahwa Maharajanya ada­lah keturunan daripada Dewa Matahari.


Al fatihah buat -- ABUYA HAMKA

Requirements: Windows: Windows Media Player 10 , QuickTime , Flash , Mac OS: Flip4Mac , QuickTime , Flash

A Film On The Life Of Holy Prophet Mohammed(P.B.U.H) Movie: The Message(In English)

http://www.tubeislam.com/
View Larger Map # Ceramah Melayu # Ceramah Inggeris # Bacaan Zikir, Selawat, Doa Qunut, Qasida & Nasyid # Bahan Teks dan Dokumen http://habibahmadismail.com/ website website website http://muhdkamil.org/ http://fenditazkirah.blogspot.com/2012/11/hijrah.html klik stop radio

Popular Posts

Blog list